Usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung dengan penuh semangat dan terus menerus. Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat tradisi epistemologi yang kuat untuk
mendasarkan diri kepada pengalaman manusia, dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut. Doktrin Empirisme merupakan contoh dari tradisi ini. Kaum Empiris berdalil adalah tidak beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita, terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang yang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak takkan pernah dapat dijamin.
Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu pada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia bahwa ada seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia meminta kita untuk menceritakan bagaimana kita sampai pada kesimpulan itu. Jika kemudian kita terangkan bahwa kita melihat harimau itu dalam kamar mandi, baru kaum empiris mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita itu, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri.
Dua aspek dari teori empiris terdapat dalam contoh di atas tadi. Pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui. Yang mengetahui adalah subyek atau benda yang diketahuia adalah obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri dari fakta atau obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri dari fakta atau obyek yang dapat ditangkap oleh seseorang. Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia. Agar berarti bagi kaum empiris, maka pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi pernyaratan pengujian public.
Masalh yang rumit akan timbul bila persyaratan tentang suatu obyek atau kejadian ternyata tidak lagi terdapat untuk pengujian secara langsung. Jika kita menyatakan bahwa George Washington memotong pohon cherry ayahnya, kaum empiris harus diyakinkan sekurang-kurangnya dalam tiga hal: pertama, bahwa perkataan “George Washington” dan “pohon cherry” adalah termasuk benda-benda yang dapat dialami manusia; kedua, bahwa terdapat seseorang yang melihat kejadian itu secara langsung; ketiga, jika kaum empiris itu sendiri ada di sana, dia sendiri harus menyaksikan kejadian tersebut.
Aspek lain dari empirisme adalah prinsip keteraturan. Pengetahuan tentang alam didasarkan pada persepsi mengenai cara yang teratur tentang tingkah laku sesuatu. Pada dasarnya alam adalah teratur. Melukiskan bagaimana sesuatu telah terjadi di masa lalu, atau dengan melukiskan bagaimana tingkah laku benda-benda yang sama sekarang, maka dengan jalan ini kaum empiris merasa cukup beralasan untuk membuat ramalan mengenai kemungkinan tingkah laku benda tersebut di masa depan.
Di samping berpegang kepada keteraturan, kaum empiris mempergunakan prinsip keserupaan. Keserupaan berarti bahwa bila terdapat gejala-gejala yang berdasarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka kita cukup mempunyai jaminan untuk membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hal itu. Jika kita mengetahui bahwa sebuah pisang adalah enak dan bergizi, kita ingin merasa yakin dengan alas an yang cukup, bahwa obyek lain yang bentuk dan rasanya seperti pisang, tidaklah mempunyai racun yang mematikan. Makin banyak pengalaman kita dengan benda-benda yang seperti pisang, maka makin banyak kita peroleh pengetahuan yang makin dapat diandalkan tentang pisang: apakah pisang itu dan apa artinya dalam pengalaman kita.
Secara khusus, kaim empiris mendasarkan teori pengetahuannya pada pengalaman yang dapat ditangkap oleh pancaindera kita. John Locke, yang disebut sebagai bapak kaum empiris Inggris, mengajukan sebuah teori pengetahuan yang menguraikan dengan jelas sifat-sifat empirisme di atas. Locke berpendapat bahwa pikiran manusia pada saat lahir dianggap sebagai selembar kertas lilin yang licin (tabula rasa) di mana data yang ditangkap pancaindera lalu tergambar di situ. Makin lama makin banyak kesan pancaindera yang tergambar. Dari kombinasi dan perbandingan berbagai pengalaman maka idea yang rumit dapat dihasilkan. Lodke memandang pikiran sebagai suatu alat yang menerima dan menyimpan sensasi pengalaman. Pengetahuan merupakan hasil dari kegiatan keilmuan (pikiran) yang mengkombinasikan sensasi-sensasi pokok.
Mereka yang berkeras pada pendapat bahwa semua pengetahuan dapat disederhanakan menjadi pengalaman indera, dan apa yang tidak dapat tersusun oleh pengalaman indera bukanlah pengetahuan yang benar, disebut kaum empiris radikal atau “sensasionalis”. Kaum empiris modern akan mengemukakan pendapat Locke dengan kata-kata sebagai berikut : pengetahuan adalah hasil dari proses neuro-kimiawi yang rumit, di mana obyek luar merangsang satu organ pancaindera atau lebih, dan rangsangan ini menyebabkan perubahan material atau elektris di dalam organ badani yang disebut otak.
Kritik Terhadap Empirisme
1. Empirisme didasarkan pada pengalaman. Tetapi apakah yang disebut pengalaman? Sekali waktu dia hanya berarti rangsangan pancaindera. Lain kali dia muncul sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif yang sangat ditinggikan oleh kaum empiris. Kritikus kaum empiris menunjukkan bahwa fakta tak mempunyai apapun yang bersifat pasti. Fakta itu sendiri tak menunjukkan hubungan di antara mereka terhadap pengamat yang netral. Jika dianalisis secara kritis, maka “pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu samara untuk dijadikan dasar bagi sebuah teori pengetahuan yang sistematis.
2. Sebuah teori yang sangat menitikberatkan pada persepsi pancaindera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera kita sering menyesatkan di mana hal ini disadari oleh kaum empiris itu sendiri. Empirisme tidak mempunyai kelengkapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta.
3. Empirisme tak memberikan kita kepastian. Apa yang disebut pengetahuan yang mungkin, dalam pengertian di atas, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan. Tanpa terus berjaga-jaga dan mempunyai urutan pengalaman indera yang tak terputus-putus, kita takkan pernah merasa yakin, bahwa mobil yang kita masukkan ke dalam garasi pada malam hari adalah juga mobil yang sama yang kita kendarai pada pagi harinya.
No comments:
Post a Comment